Beranda | Artikel
Beribadah dengan Ikhlas
Senin, 7 November 2016

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya dengan hanif, dan supaya mereka mendirikan sholat, dan menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus.” (al-Bayyinah : 5)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Banyak diantara ulama semacam az-Zuhri dan asy-Syafi’i yang berdalil dengan ayat yang mulia ini untuk menunjukkan bahwasanya amal termasuk di dalam iman.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 8/457)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Tidaklah mereka diperintahkan di dalam Taurat dan Injil kecuali supaya memurnikan ibadah kepada Allah dengan penuh ketauhidan.” (disebutkan oleh Imam al-Baghawi rahimahullah dalam tafsirnya Ma’alim at-Tanzil, hal. 1426)

Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Ayat ini merupakan salah satu dalil yang menunjukkan wajibnya niat dalam amal-amal ibadah, karena sesungguhnya ikhlas adalah termasuk amalan hati.” (lihat Fat-hul Qadir oleh Imam asy-Syaukani, hal. 1644)

Imam Ibnul Jauzi rahimahullah menafsirkan ‘memurnikan agama untuk-Nya’ dengan makna, “Yaitu dalam keadaan bertauhid, sehingga mereka tidak beribadah kepada selain-Nya.” (lihat Zaadul Masiir fi ‘Ilmi at-Tafsiir oleh Ibnul Jauzi, hal. 1576)

Di bagian awal risalah al-‘Ubudiyah, Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan makna ibadah. Bahwa ibadah adalah sebuah nama yang mencakup segala hal yang dicintai dan diridhai oleh Allah baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang lahir maupun batin (lihat keterangan Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah di Syarh Tsalatsah al-Ushul, hal. 67)

Syaikh Utsaimin rahimahullah menjelaskan, bahwa dari ayat ini kita bisa memetik pelajaran bahwasanya hakikat tauhid itu adalah keikhlasan kepada Allah tanpa ada sedikit pun kecondongan kepada syirik. Oleh sebab itu barangsiapa yang tidak ikhlas kepada Allah bukanlah orang yang bertauhid. Begitu pula barangsiapa menjadikan ibadahnya dia tujukan kepada selain Allah maka dia juga bukan orang yang bertauhid (lihat Syarh Tsalatsah al-Ushul, hal. 76-77)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa diantara keutamaan ikhlas itu adalah bahwasanya orang yang ikhlas kepada Allah dalam iman dan tauhidnya niscaya akan terasa ringan baginya berbagai bentuk ketaatan disebabkan dia senantiasa mengharapkan pahala dan keridhaan dari Rabbnya. Dan dengan ikhlas itu pula akan membuatnya ringan meninggalkan maksiat yang diinginkan oleh hawa nafsunya disebabkan dia selalu merasa takut akan kemurkaan dan hukuman dari Allah (lihat Syarh Mudzakkirah at-Tauhid oleh Syaikh Raslan, hal. 235)

Ibadah itu sendiri merupakan perpaduan antara kecintaan dan ketundukan. Apabila ia ditujukan kepada Allah semata maka jadilah ia ibadah yang tegak di atas tauhid, sedangkan apabila ia ditujukan kepada selain-Nya maka ia menjadi ibadah yang tegak di atas syirik. Ibadah kepada Allah yang sesuai dengan syari’at disebut ibadah yang syar’iyah, sedangkan ibadah yang menyelisihi tuntunan syari’at disebut sebagai ibadah yang bid’ah (lihat Syarh Risalah Miftah Daris Salam oleh Syaikh Shalih bin Abdillah al-‘Ushaimi hafizhahullah, hal. 9)

Hakikat ikhlas ialah menghendaki Allah dalam ketaatan. Adapun ash-shidq/kejujuran ialah menghendaki Allah dalam ibadah disertai dengan hadirnya hati untuk-Nya. Setiap orang yang shadiq pasti ikhlas, tetapi tidak setiap orang yang ikhlas itu shadiq (lihat dalam ad-Durrah as-Salafiyah Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hal. 29)

Tauhid kepada Allah ditegakkan di atas ikhlas dan shidq. Ikhlas adalah mengesakan Dzat yang dikehendaki dan disembah; yaitu dengan tidak mengangkat sekutu atau sesembahan lain bersama-Nya, sehingga dia hanya beribadah kepada Allah semata. Adapun shidq artinya mengesakan keinginan dan kehendak yaitu dengan menyatukan tekad dan keinginan untuk menunaikan ibadah secara sempurna dan tidak menyibukkan hatinya dengan hal-hal selainnya. Sehingga bisa disimpulkan bahwa ikhlas bermakna mengesakan Dzat yang dikehendaki, sedangkan shidq adalah menunggalkan keinginan (lihat keterangan Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah dalam ash-Shidqu ma’a Allah, hal. 13)

Barangsiapa yang tidak ikhlas dalam mewujudkan makna kalimat laa ilaha illallah maka dia adalah orang musyrik -karena ia telah beribadah kepada selain-Nya-. Dan barangsiapa yang tidak shidq/jujur dalam mengucapkan kalimat laa ilaha illallah maka dia adalah orang munafik. Allah berfirman (yang artinya), “Apabila datang kepadamu orang-orang munafik, mereka berkata ‘Kami bersaksi bahwasanya kamu adalah benar-benar utusan Allah’. Allah benar-benar mengetahui bahwa kamu sungguh rasul-Nya, dan Allah bersaksi bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar pendusta.” (al-Munafiqun : 1) (lihat ash-Shidqu ma’a Allah, hal. 16)

Ikhlas dalam beramal merupakan pilar dan pondasi setiap amal salih. Inilah landasan tegaknya kesahihan amal dan sebab diterimanya amal di sisi Allah, sebagaimana halnya mutaba’ah (mengikuti tuntunan) merupakan pilar kedua untuk terwujudnya amal salih yang diterima di sisi Allah. Kedua pilar ini ditunjukkan oleh firman Allah (yang artinya), “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110) (lihat keterangan Syaikh Ibrahim ar-Ruhaili hafizhahullah dalam Tajrid al-Ittiba’, hal. 49)

Ikhlas adalah syarat diterimanya amalan. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Nasa’i dan dinyatakan hasan oleh al-Albani, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak akan menerima kecuali amal yang ikhlas dan dengan amal itu dia mengharapkan wajah Allah.” (lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 21)

Demikian sedikit catatan yang bisa kami kumpulkan -dengan taufik dari Allah semata- semoga bisa memberikan tambahan faidah ilmu bagi kita semuanya. Dan segala puji hanya bagi Allah Rabb seru sekalian alam.


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/beribadah-dengan-ikhlas/